Sastra, Ruang Penyadaran Ketuhanan dan Kemanusiaan
Gajah mati
meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati
meninggalkan nama. Pepatah ini agaknya sangat tepat untuk melukiskan
cendekiawan dan “Resi” Kuntowijoyo. Sebuah nama yang memiliki sejumlah
identitas (meminjam istilah Dr. Sangidu, M.Hum).
Lahir di
Yogyakarta 18 September 1943, sejak muda Kuntowijoyo sangat perhatian (concern) dengan berbagai bidang kajian.
Hingga akhirnya, Doktor lulusan Universitas Columbia ini dikenal sebagai akademisi,
sastrawan, aktivis pergerakan, budayawan, kolumnis, penulis buku, bahkan khatib.
Berbagai gelar
sosial pun disandangnya. Namun rupanya gelar sastrawan–budayawan lah yang lebih
tepat dilekatkan dengan nama besarnya.
Sastra Pembebasan
Sastra, baik
yang berupa sya’ir (puisi) maupun cerita pendek dan lain sebagainya, bukan sekadar
ekspresi picisan sang sastrawan atas imajinasi yang didapatnya. Ia juga tidak
sekadar permainan makna para penyair dan sastrawan.
Melainkan
harus ada kandungan sebuah pesan atas karya – karya. Dan biasanya, para penyair
– sastrawan itu lebih cenderung memilih sya’ir – sastra pembebasan (perjuangan)
dan puitis. Dua hal ini menjadi sesuatu yang tak terbantahkan.
Lihat saja.
Sastrawan besar semacam Chairil Anwar, selalu membuat puisi – puisi pembebasan
(pejuangan) untuk merefleksikan kebenciannya terhadap penjajah. “Aku ini
binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang/ …. Meski seribu peluru menembus
dadaku/ aku akan tetap meradang/ menerjang/ …”
Dengan
lihainya Chairil mencipta puisi – puisi pembebasan itu. Namun ketika ia ketemu
dengan seorang gadis yang kemudian dinikahinya untuk pertama kali, ia juga
mencipta puisi – puisi puitis untuk sang kekasih pujaan hati.
Saya kira, dua
tema di atas lah yang mendominasi dunia kepenyairan dan sastrawan kita. Sajak
pembebasan WS. Rendra, antara lain ketika ia menggugat dengan: “Rakyat adalah
sumber kedaulatan/ kekuasaan tanpa rakyat/ adalah benalu tanpa karisma/ rakyat
adalah bumi/ politik dan kebudayaan adalah udara/ bumi tanpa udara/ adalah bumi
tanpa kehidupan …”
Demikian
adalah sajak yang ditulis Rendra, untuk menggugat kesewenang – wenangan para
anggota Dewan (DPR), yang tidak lagi sesuai fungsinya sebagai wakil rakyat.
Sastra Profetik
Dua tema dalam
dunia kepenyairan – sastra di atas, memang sebuah realitas. Dua hal itu sangat
mudah dicipta, karena manakala seseorang tidak sepakat dengan sebuah kondisi
(situasi) tertentu, ia bisa dengan mudahnya menggugat dan mengekspresikannya
dalam sebuah puisi maupun karya sastra lainnya.
Selain itu,
orang juga akan lebih mudah mencipta puisi – syair dan karya sastra puitis
ketika ia sedang jatuh cinta dan atau putus cinta. Dengan lancer seseorang akan
mencipta sebuah karya maha dahsyat berkaitan dengan tema cinta yang sangat
puitis (ingat bagaimana Qois mencipta sya’ir – sya’ir nya untuk perempuan yang
sangat dicintainya: Laila).
Meski dua hal
di atas lah yang dominant, namun agaknya Kuntowijoyo berbeda. Ia mencipta karya
– karyanya bukan sekadar untuk mencurahkan ekspresi ketidaksepakatan atas
sebuah kondisi atau mencipta hal – hal puitis dalam setiap karyanya.
Itulah
kehebatannya. Baginya, sastra bisa lebih dari itu. Bisa memberikan pencerahan
dan kemanfaan untuk mendekatkan diri kepada Yang Esa. Ia menyebutnya sebagai
sastra profetik. Sastra profetik yang bersumber Kitab–kitab suci, adalah
senjata orang beragama untuk melawan musuh–musuhnya (fungsi pembebas),
materialisme dan sekularisme (h.24).
Secara
sederhana, skema pemikiran sastra profetik penulis buku “Mantra Penjinak Ular”
ini, adalah bahwa tugas sastrawan lewat karya – karyanya, adalah memperluas
ruang batin, serta menggugah kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan.
Habl min Allah wa habl min an-nas (h.7).
Oleh karena
itu, kehadiran buku Maklumat Sastra Profetik yang ditulis empat hari menjelang
meninggalnya Kuntowijoyo ini, wajib dibaca oleh para penyair, sastrawan,
budayawan dan umum, agar mengetahui bahwa tugas para sastrawan bukanlah
menciptakan karya dengan bahasa yang mendayu–dayu dan puitis. Karena ada
peranan yang lebih besar; sastra sebagai sarana membuka ruang menuju kesadaran
ketuhanan dan kemanusiaan. (drs)
Sastra, Ruang Penyadaran Ketuhanan dan Kemanusiaan
Reviewed by IkiCahUMK
on
Rabu, Januari 13, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: